Bulaksumur 29 April, 2025. Dewan Guru Besar kedatangan tamu sejumlah petani muda, pamong desa, fasilitator dan aktivis desa membicarakan tentang gagasan mengembangkan pemikiran desa melalui dialog antara akademisi dan aktivis petani. Pada sambutan pembuka, ketua DGB UGM Baiquni menyambut baik silaturahim dan audiensi komunitas penggerak desa di Yogyakarta untuk menemukan gagasan yang segar terkait pembangunan perdesaan.
Dialog ini merupakan kelanjutan dari pertemuan tahun 2024 dan sejumlah pertemuan di desa di Bantul. Prof Baiquni mengemukakan bahwa desa berdaulat penting untuk dikuatkan dengan tumbuhnya pengetahuan dan pengalaman dari lapangan. Kampus dan kampung berdialog mencari makna baru dalam menghadapi tantangan perubahan. Dalam rangka memperingati 80 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia semangat untuk bebas dari belenggu penjajah menjadi rakyat yang berdaulat, upaya mandiri dan mencapai kesejahteraan Bersama. Bahkan penting dikaitkan pula dengan solidaritas yang dibangun menandai momentum bersejarah Konferensi Asia Afrika yang merumuskan Dasa Sila Bandung. 70 tahun yang lalu Indonesia menjadi tuan rumah menggalang kekuatan negara-negara Asia Afrika untuk membangun solidaritas merdeka, mandiri, berdaulat.
Desa berdaulat menjadi refleksi pertanyaan kritis, apakah di tengah arus global ini desa masih bisa menemukan dinamika mandiri dan mampu mencukupi kebutuhannya terutama terkait kecukupan pangan? Apakah Undang-undang No.6 tahun 2014 sudah mampu menciptakan otonomi desa atau sebaliknya dengan penggelontoran Dana Desa itu justru membuat warga desa semakin tergantung? Sejumlah guru besar yang hadir, yakni Susetiawan, Sri Suryawati, Sri Raharjo, Subejo, Muhtasar, Lasiyo, Wahyudi dan Baiquni. Para guru besar mendengarkan apa yang dialami dan dirasakan warga desa yang hadir. Susetiawan sosiolog ahli pesedaan memantik diskusi dengan bertanya “Apa yang sedang terjadi di desa dan apa yang diharapkan ke depannya”?
Akbarian Rifki Syafaat yang menjadi jurubicara petani Desanomia, memperkenalkan segenap tim kerja yang hadir dan menyampaikan senang dan gembira bisa berdiskusi di kampus. Ia mengemukakan bahwa dalam kehidupan komunitas basis (desa) berlangsung cara hidup yang diwariskan melalui pengalaman, pengamatan, dan keterlibatan dengan alam serta sesama. Pengetahuan tentang waktu tanam, siklus cuaca, hama, pengelolaan air, pembagian hasil, hingga aturan tidak tertulis tentang ruang hidup bersama, atau tempat keramat bukanlah hasil dari abstraksi atau doktrin, melainkan dari hidup itu sendiri: dari ritme yang terus-menerus dijalani bersama – sesuatu yang dialami langsung.
Kehidupan komunitas desa semacam itu, secara nyata mengalami “tekanan” (marjinalisasi, bahkan eksklusi) oleh: program pembangunan yang masuk dengan logika efisiensi dan produktivitas, perencanaan ruang yang tidak mengenali (dan atau tidak melibatkan) pengetahuan lokal, kebijakan pangan yang seragam, serta proyek sosial dan pendidikan yang “membawa” pengetahuan dari luar tanpa ruang untuk mendengar apa yang sudah dijalani dan dipercaya secara kolektif untuk suatu kurun waktu yang panjang. Apa yang dapat dikatakan adalah bahwa hidup komunitas dipengaruhi (ditentukan) oleh sistem pengetahuan yang tidak sepenuhnya berasal dari cara hidup masyarakat itu sendiri. Rifki menyampaikan 16 halaman kertas kerja yang telah disiapkan sebagai bahan diskusi Bersama.
Diskusi yang selanjutnya dipandu Wahyudi Kumorotomo ini berlangsung dengan santai dan serius, hangat dengan beberapa humor yang dapat menggambarkan suasana desa. Kepala desa Terong di Dlingo mengungkapkan perubahan pertanian dan petani muda yang minat berusaha tani semakin merosot. Cuaca yang tidak menentu, munculnya hama termasuk kera ekor Panjang yang sering berulah merugikan petani. Sementara itu kepala dukuh di Desa Patalan Bantul ingin menjadikan desanya menjadi ajang pendidikan pertanian dan pariwisata desa.
Untoro Hariadi mengangkat pemikiran kampus untuk bisa berdialog dengan kenyataan di lapangan yang dihadapi petani. Sementara itu Dadang Yuliantara mengusulkan pengakuan bahwa desa sebagai penghasil pengetahuan, ilmu yang didapat dari pengalaman menjadi modal penting bagi desa untuk mandiiri drngan ciri khasnya. Dari petani muda juga angkat bicara, bagaimana ia harus mengadopsi Teknik dan teknologi baru dalam pertanian, termasuk usaha perikanan yang ia tekuni. Banyak tantangan yang harus dihadapi, tak hanya dari sisi produksi dan sarana pendukungnya; tetapi juga pengolahan hasil panen dan jaringan pasar yang harus dipahami dan dikuasai.
Dari dialog antar petani, pamong, aktivis dan akademisi ini juga muncul gagasan untuk misalnya mengembangkan desa hijau yang mengintegrasikan ekonomi dan ekologi. Desa pertanian tidak dipertentangkan dengan konservasi kera ekor Panjang yang dianggap selama ini sebagai pengganggu. Muncul ide untuk mengjadikan desa ekowisata edukasi dengan melestarikan keragaman hayati yang bise menjadi daya Tarik wisatawan dating untuk belajar dan melakukan konservasi. Juga desa wisata kreatif dengan atraksi seni sebagai lokasi belajar melukis maupun belajar kuliner desa (culinary arts) yang juga menjadi diversifikasi pendapatan petani.
Tindak lanjut dari pertemuan ini akan dilakukan disejumlah desa dengan menguatkan pengalaman dan membangun pengetahuan, serta saresehan di lapangan bersama kelompok tani. Di kampus juga direncanakan sejumlah serial diskusi untuk merefleksikan pengalaman petani dan membangun pengetahuan bersama agar muncul penguatan dan kekuatan baru dalam pertanian dalam arti luas untuk pembangunan perdesaan.
Ditulis oleh: M. Baiquni
Editor: Wahyudi Kumorotomo