Dewan Guru Besar pada hari Ahad, 12 Februari 2023 melakukan kunjungan lapangan bersama tim pokja atasi kemiskinan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tim pokja penanggulangan kemiskinan DIY disambut bapak Sugiharto beserta Tim manajemen Banyumanik Research Center (BRC) dan berdiskusi selama 2 jam dilanjutkan meninjau lapangan di hutan jati dan tumpang sari. Di latarbelakangi kondisi dusun Banyumanik yang kini berdiri fasilitas pusat riset dan belajar telah memberikan manfaat bagi banyak pihak. Kedekatan lokasi BRC dengan permasalahan yang dihadapi petani diharapkan dapat lebih mempercepat pemahaman para peneliti serta pemangku kepentingan lain dalam pengambilan kebijakan strategis untuk turut serta mengatasi tingkat kemiskinan yang tinggi di Kabupaten Gunungkidul.
Solusi atasi kemiskinan secara terpadu dan partisipatif dapat dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan yang mengacu pada 17 butir SDG’s. Belajar dari pengalaman BRC dalam mengimplementasikan SDGs dengan kearifan lokal, kiranya dapat ditularkan di seluruh kabupaten/kota di DIY yang tentu pendekatan dan penekanan program di masing-masing wilayah bisa beragam. Sugiarto yang merintis pengembangan BRC menggagas gerakan gotong royong bersama mengatasi kemiskinan lintas aktor dan sektor. Jika masing-masing fakultas dan pusat studi di UGM menunjuk penanggung jawab pelaksana mengkoordinasi dan menggarap 1 butir SDGs dengan anggota siapa saja yg berminat (ilntas pelaku: perguruan tinggi lain, UMKM, LSM, dll) maka dalam waktu 2-3 tahun impact-nya akan terasa, tingkat kemiskinan dan Gini ratio akan lebih cepat turun.
Ibu Tuti yang menjadi pengelola menyampaikan filosofi ‘Memayu hayuning bawono’ menjadi inspirasi dan semangat dalam kegiatan pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Banyumanik Research Center menjadi agen pembangunan di bidang pengelolaan sumber daya hutan yang menguntungkan dan berkelanjutan, sehingga bisa tercapai tujuan yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan pemeliharaan hutan lestari, dapat meningkatkan kualitas lingkungan melalui proses pembelajaran pembangunan hutan yang berkelanjutan. Dengan mengelola tanaman Jati dan berbagai ragam tanaman, tahapan program kegiatan pemberdayaan masyarakat di Banyumanik berupa: Penataan lingkungan, Pelatihan Sumber Daya Manusia, dan Desa wisata demikian yang dijelaskan oleh Sri Astuti Soedjoko yang akrab di sapa ‘bu Tutik kehutanan’.
Dikatakan Baiquni menanggapi presentasi BRC, bahwa Dewan Guru Besar ingin sumbangsih gagasan, dan bersama pusat studi dan fakultas mengembangkan langkah kerja nyata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melihat apa yang telah dilakukan BRC sebagai contoh yang dapat dikembangkan kolaborasi dengan berbagai pihak. Dalam menanggulangi kemiskinan perlu berkolaborasi dengan para petani dan peternak serta pengusaha kecil UMKM untuk membuka lapangan kerja dan mengembangkan sumberdaya local. Upaya berkolaborasi dengan dengan UMKM sebagai pelaku usaha rakyat dapat menciptakan nilai tambah dan membuka lapangan kerja. BRC bisa juga dijadikan Research sister dengan kabupaten lain yang kondisi lahan dan sosialnya sama.
Hadir pula dalam diskusi di BRC Guru Besar UGM Sutaryo beliau mengatakan bahwa Dewan Guru Besar (DGB) perlu menjadi pelopor di daerah gersang dapat diubah menjadi hijau, seperti di dusun Banyumanik sebagai penguatan riset-riset yang telah dilakukan. Dari data yang telah ada dan sudah berjalan perlu ada peningkatan dalam data pendidikan seperti ada komitmen dalam pendataan satu rumah satu sarjana. Hal lain diungkapkan lingkungan menjadi penting untuk dikelola seoptimal mungkin menjadi zero waste. Dari Hidup, Kehidupan, Penghidupan adalah siklus saling berhubungan, sekaligus mata rantai yang tak terpisahkan.
Selesai diskusi kemudian dilanjutkan berkeliling BRC untuk melihat implementasi kegiatan ini, sejumlah akademisi, praktisi bisnis dan pegiat masyarakat sebanyak 15 orang turut hadir dan ke lapangan salah satunya Desa Wunung yang merupakan Desa Wisata dengan lokasi aktivitas di pendopo pertemuan, outbond dan camping ground.
Dharma Setyawan mengatakan dalam diskusinya pelaksanaan kegiatan dibutuhkan motor penggerak birokrasi untuk saling bersinergi dengan pemerintah karena di masyarakat kita masih memegang nilai-nilai seni, adat dan budaya sebagai simbol kearifan lokal maka bisa dengan dana keistimewaan sebagai kontribusi pemerintah.
Program sebaiknya diarahkan untuk memperkuat prakrasa desa dan warga masyarakat dalam mengelola sumberdaya lokal menjadi ekonomi yang terkait dengan pelestarian ekosistemnya. Paradigma semacam itu menggerakkan program penanggulangan kemiskinan, dari pro-poor ke pro-job yang menggerakkan partisipasi dengan kekuatan sosial-budaya dalam mengatasi kemiskinan sesuai yang dikatakan oleh Bambang Hudayana Guru Besar Antropologi UGM menegaskan kesimpulan dari kunjungan lapangan dan menguatkan Kerjasama para pihak ini.
(Heru Sutrisno)