Dewan Guru Besar UGM menyelenggarakan Seminar Pemikiran Bulaksumur seri #21 pada hari Selasa 31 Januari 2023 pada pukul 13.00-15.30 WIB bertema Solusi Atasi Kemiskinan DIY. Webinar ini dibuka oleh Mochammad Maksum selaku Ketua DGB UGM yang mendapat respon dan tanggapan dari civitas akademika, alumni dan masyarakat umum. Acara ini dimoderatori Sekretaris Dewan Guru Besar Muhammad Baiquni dengan tiga pembicar: Tadjuddin Noer Effendi dengan bahasan Analisis Kependudukan dan Kemiskinan dilanjutkan oleh Bambang Hudayana dengan bahasan Analisis Sosial Budaya Kemiskinan serta dilanjutkan praktisi Anik Kisworo Wati mengemukakan Peran UMKM Dalam Mengatasi Pengangguaran dan Kemiskinan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Seri seminar ini membahas solusi kemiskinan sebagai sumbangsih pemikiran dari kampus untuk DIY. Dalam beberapa pekan terakhir berita menyebutkan bahwa kemiskinan di Pulau Jawa masih tinggi di beberapa daerah, persentase kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi. DIY memiliki tingkat kemiskinan sebesar 11,49 persen, dengan jumlah penduduk miskin mencapai 463.630. Sementara itu tingkat kebahagiaan dan usia harapan hidup di DIY tergolong tinggi. Nah bagaimana fenomena ini terjadi di daerah yang memiliki tingkat Pendidikan dan pusat Pendidikan, namun masih ada rumahtangga miskin di perkotaan.
UGM perlu turun tangan menangani permasalahan melalui kapasitas yang ada dan tersedia sebagai pusat Pendidikan yang mengemban jatidiri sebagai universitas perjuangan, universitas nasional, universitas Pancasila, universitas kerakyatan, dan universitas pusat kebudayaan. Pemikiran dan gagasan yang didasarkan riset dengan data yang akurat serta metode yang tepat akan membantu para penentu kebijakan dan dinas pelaksana program penanggulangan kemiskinan. UGM juga memiliki program KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang. Dapat diarahkan untuk kampung dan komunitas miskin di perkotaan dan perdesaan.
Tadjuddin Noer Effendi, pakar senior menganalisis angka kemiskinan yang dipublikasikan BPS mengundang berbagai perbedaan pandangan dan reaksi, atas hasil survei ekonomi nasional secara berkala. Garis kemiskinan yang diset di DIY sebesar Rp 551.342 per bulan per kapita per bulan, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan angka pengeluaran Jawa Barat (RP 480.350) dan Jawa Tengah (Rp 464.879). Tajudin yang lebih dari 40 tahun menggeluti isu kemiskinan menyatakan ” Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk dapat diamati dari proporsi pengeluaran untuk non-makanan. Bila proporsi pengeluaran non-makanan besar maka tingkat kesejahteraan lebih baik dibandingkan dengan yang proporsinya kecil. Bila proporsi besar berarti masyarakat telah memiliki uang (dana) untuk menabung, investasi, pendidikan, hiburan, kesehatan dll. Proporsi pengeluaran per kapita untuk non-makanan masyarakat Yogyakarta mencapai 60,53% tertinggi di Indonesia. Mengindikasikan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta tergolong baik.”
Sementara itu disampaikan pula angka dari sisi tingkat ketimpangan pengeluaran atau rasio gini, DIY tertinggi di Indonesia yakni 0,439. Sementara dari angka harapan hidup, DIY menempati peringkat pertama di Indonesia dengan usia rata-rata penduduk 75 tahun. Demikian pula dengan indek kebahagiaan, DIY termasuk tinggi. Tajudin mengingatkan pentingnya perubahan inndikator kemiskinan yang disetarakan dengan 2.100 kilogram kalori, tidak lagi relevan di era sekarang.
Perlu dicari indikator pengeluaran seperti konsumsi sekunder dan tersier atau indikator kepemilikan asset seperti kendaraan bermotor. Disamping itu perlu penerapan metode pengumpulan data pengeluaran diperlukan kecermatan dan penuh tanggung jawab dan perlu dilakukan secara secara teliti dan cermat. Para enumerator perlu ditraining terkait tehnik wawancara dan kepekaan terhadap situasi sosial di lapangan. Tajudin juga mengusulkan penerapan kebijakan delinking strategy yakni memutus mata rantai kemiskinan dengan meningkatkan pendidikan, kesehatan dan penciptaan peluang kerja untuk anggota keluarga miskin
Bambang Hudayana, gurubesar antropologi Fakultas Ilmu Budaya sekaligus peneliti PSPK (Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan) mengemukakan peran kemitraan Pemerintah, Pemda, Desa, Perguruan Tinggi, LSM, dan perusahaan perlu terus meningkatkan dalam melakukan inovasi penanggulangan kemiskinan di DIY. Program penanggulangan kemiskinan memerlukan riset aksi yang inovatif yang berbasis kekuatan sosial-budaya dalam masyarakat. Pengalaman membuktikan bahwa beberapa desa dan kelompok warga sesungguhnya mampu mengatasi kemiskinan dengan mengembangkan usaha desa dan usaha kelompok melalui pendayagunaan modal sosial, aset lokal dan pengalaman hidupnya. Kedepan program sebaiknya diarahkan untuk memperkuat prakrasa desa dan warga semacam itu daripada menggerakkan program pro-poor dan pro-job yang bersifat top-down dan uniform karena program ini mengabaikan kekuatan sosial-budaya dalam mengatasi kemiskinan.
Pembicara ketiga dari praktisi UMKM, Anik Kisworo Wati mengemukakan Peran UMKM Dalam Mengatasi Pengangguaran dan Kemiskinan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia memulai dengan cerita pengalaman hidupnya Ketika muda untuk didorong orang tuanya mengikuti pelatihan ketrampilan, sehingga dapat memproduksi sejumlah kerajinan dengan bahan lokal dan dapat menembus pasar internasional. Perjuangan Bersama para perempuan pengrajin membawa perubahan, mengatasi pengangguran dan meningkatkan pendapatan keluarga.
Baiquni yang juga dosen pembangunan wilayah, pada akhir seminar mengemukakan agar Pemikiran Bulaksumur seri #21 ini tidak hanya menjadi kata-kata, namun perlu diwujudkan dalam tindakan nyata. Sambil mengutip pemikiran EF Schumatcher “Small is Beautiful” yang terbit tahun 1973 menggambarkan bagaimana ekonomi kerakyatan yang skalanya kecil dan beragam yang memiliki dinamika yang kuat dan tangguh yang saat itu juga bergairah praktek Appropriate Technology, yakni teknologi tepat guna yang dapat diadopsi dan diadaptasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya lokalnya. Pemikiran itu 50 tahun kini di tahun 2023, perlu ditinjau kembali dengan kekuatan teknologi digital dan kolaborasi global, sehingga Baiquni mengajukan usulan untuk menuliskan pengalaman kit aini sebagai “Smart is Beautiful”.
(Penulis: Heru Sutrisno)